BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rendahnya mutu
pendidikan di indonesia merupakan masalah tersendiri di negara kita. Jika
dibandingkan dengan negara-negara lain, Mutu pendidikan di Indonesia masih
terbilang rendah. Hal ini mempunyai dampak yang sangat besar bagi majunya
kehidupan masyarakat dalam segala aspek bidang kehidupan. Sehingga pemerintah
berinisiatif untuk mencari solusi dalam menangani masalah ini. Untuk
menciptakan masyarakat yang maju maka hal perlu diperhatikan terlebih dahulu
adalah bagaimana mewujudkan pendidikan yang bermutu yang pada akhirnya mencapai
tujuan pendidikan nasional yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata
sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan
adalah melalui penerapan Manajemen Pendidikan/ Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Oleh karena itu, dalam makalah
ini kami akan membahas lebih lanjut tentang manajemen pendidikan dan urgensinya
dalam pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan
masalah dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud
dengan manajemen pendidikan
2.
Apa saja tujuan dan
manfaat dari manajemen pendidikan
3.
Apa saja fungsi dan
peranan dari manajemen pendidikan
4.
Bagaimana urgensi
manajemen dalam pendidikan
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di
atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian manajemen
pendidikan
2. Untuk mengetahui dan memahami tujuan dan manfaat dari
manajemen pendidikan
3. Untuk mengetahui dan memahami fungsi dan peranan dari
suatu manajemen pendidikan.
4. Untuk mengetahui dan memahami urgensi manajemen dalam
suatu pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Manajemen Pendidikan
Dalam peningkatan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan, terdapat beberapa komponen yang sangat
penting untuk mendukung salah satunya
yaitu penyelenggaraan manajemen pendidikan yang dalam lingkup mikro disebut
juga manajemen sekolah. Tanpa adanya manajemen pendidikan yang baik maka
kemungkinan segala upaya peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan akan gagal
sama sekali. Bidang ataupun aspek apapun yang akan dibenahi akhirnya kembali
kepada adanya prasyarat utama yaitu terselenggaranya manajemen pendidikan yang
handal. Masalah manajemen pendidikan adalah masalah yang sangat berperan dalam
proses penyelenggaraan pendidikan baik sebagai sarana maupun alat penataan bagi
komponen pendidikan lainnya.
1. Definisi Manajemen
Dari segi bahasa management berasal
dari kata manage (to manage) yang berarti “to conduct or to carry
on, to direct” (Webster Super New School and Office Dictionary). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Manajemen diartikan sebagai “Proses penggunaan
sumberdaya secara efektif untuk mencapai sasaran”(Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Adapun dari segi Istilah telah banyak para ahli telah memberikan pengertian
manajemen, dengan formulasi yang berbeda-beda, berikut ini akan dikemukakan
beberapa pengertian manajemen menurut beberapa ahli:
a.
(Prajudi Atmosudirdjo,1982 : 124):
Manajeme itu adalah pengendalian dan pemanfaatan daripada semua faktor dan
sumberdaya, yang menurut suatu perencanaan (planning), diperlukan untuk
mencapai atau menyelesaikan suatu prapta atau tujuan kerja yang tertentu.
b.
(George
R. Terry, 1986:4) Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari
tindsakan-tindakan : Perencanaan, pengorganisasian, menggerakan, dan pengawasan,
yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia serta sumber-sumber lain.
c. (Sondang P. Siagian. 1997 : 5):
Manajemen dapat didefinisikan sebagai “kemampuan
atau ketrampilan untuk memperoleh sesuatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan
melalui kegiatan-kegiatan orang lain”.
2. Definisi Pendidikan
Ditinjau dari sudut hukum, defenisi pendidikan
berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 1
ayat (1) yaitu : ”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Menurut
kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat
imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara
atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu tuntutan di dalam
hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya.
3. Hakekat Manajemen
Pendidikan
Manajemen pendidikan merupakan suatu seni dan ilmu
mengelola sumber daya pendidikan yang digunakan untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Manajemen pendidikan dapat pula didefenisikan sebagai
seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan mencapai tujuan pendidikan
secara efektif dan efesien. Manajemen
pendidikan dapat pula diartikan sebagai proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, dan pengendalian sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan secara efektif, efisien mandiri, dan akuntabel.
Berikut ini, terdapat beberapa definsi manajemen
pendidikan menurut beberapa ahli diantaranya:
a. Biro
Perencanaan Depdikbud, (1993:4): Manajemen pendidikan ialah proses perencanaan,
pengorganisasian, memimpin, mengendalikan tenaga pendidikan, sumber daya
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa,
mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman & bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan,
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri,
serta bertanggung jawab kemasyarakat dan bangsa.
b. Soebagio Atmodiwirio. (2000:23):
Manajemen pendidikan dapat didefinisikan
sebagi proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin, mengendalikan tenaga
pendidikan, sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan.
c. Engkoswara (2001:2):
Manajemen pendidikan ialah suatu ilmu yang
mempelajari bagaimana menata sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan secara produktif dan bagaimana menciptakan suasana yang baik bagi
manusia yang turut serta di dalam mencapai tujuan yang disepakati bersama.
4. Tujuan dan
Manfaat Manajemen Pendidikan
Tujuan dan manfaat manajemen pendidikan antara lain:
a.
Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran
yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan dan bermakna (Pakemb)
b.
Terciptanya
peserta didik yang aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
c.
Terpenuhinya salah satu dari 5 kompetensi tenaga kependidikan
(tertunjangnya kompetensi manajerial tenaga kependidikan sebagai manajer)
d.
Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan
efesien
e.
Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang
proses dan tugas administrasi pendidikan (tertunjangnya profesi sebagai manajer
atau konsultan manajemen pendidikan)
f.
Teratasinya masalah mutu pendidikan, karena 80%
masalah mutu disebabkan oleh manajemennya
g.
Terciptanya perencanaan pendidikan yang merata,
bermutu, relevan, dan akuntabel
h.
Meningkatkan citra positif pendidikan.
5.
Fungsi Manajemen Pendidikan
Manajemen pendidikan dalam prakteknya membutuhkan
berbagai fungsi manajemen. Fungsi
manajemen yang terdapat dalam pendidikan meliputi fungsi perencanaan atau planning,
fungsi pengorganisasian atau organizing, fungsi pengarahan atau directing,
dan fungsi pengendalian atau controlling. Berikut penjelasan dari
fungsi-fungsi tersebut:
a.
Perencanaan (Planning)
Ini adalah fungsi paling awal dari semua fungsi
manajemen, para ahli juga menyutujui hal tersebut. Perencanaan adalah proses
kegiatan untuk menyajikan secara sistematis segala kegiatan yang akan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Perencanaan dapat diartikan
sebagai penetapan tujuan, budget, policy prosedur, dan program suatu
organisasi. Dengan adanya perencanaan, fungsi manajamen berguna untuk
menetapkan tujuan yang akan dicapai, menetapkan biaya, menetapkan segala
peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan.
Perencanaan meliputi beberapa aspek, diantaranya apa
yang akan dilakukan, siapa yang akan melakukan, kapan dilakukan, di mana akan
dilakukan, bagaimana cara melakukannya, apa saja yang dibutuhkan agar tercapai
tujuan dengan maksimal. Hadari Nawawi menjelaskan arti perencanaan yaitu suatu
langkah untuk menyelesaikan masalah ketika melaksanakan suatu kegiatan dengan
tetap terarah terhadap pencapaian target(tujuan tertentu).
b.
Pengorganisasian
Didalam sistem manajemen, pengorganisasian adalah
lanjutan dari fungsi perencanaan. Bagi suatu lembaga atau organisasi,
pengorganisasian merupakan urat nadi organisasi. Oleh sebab itu,
keberlangsungan organisasi atau lembaga sangat di pengaruhi oleh pengorganisasian.
Pengorganisasian menurut Heidjarachman Ranupandojo adalah kegiatan yang di
lakukan oleh sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu, pelaksanaannya
dengan membagi tugas, tanggung jawab, serta wewenang di antara kelompoknya,
ditentukan juga yang akan menjadi pemimpin dan saling berintegrasi dengan
aktif.
c.
Penggerakkan(actuating)
Penggerakkan berfungsi untuk merealisasikan hasil
perencanaan dan pengorganisasian. Actuating merupakan usaha untuk mengarahkan
atau menggerakkan tenaga kerja atau man
power dan mendayagunakan fasilitas yang tersedia guna melaksanakan
pekerjaan secara bersamaan. Fungsi ini memotifasi bawahan atau pekerja untuk
bekerja dengan sungguh-sungguh supaya tujuan dari organisasi dapat tercapai
dengan efektif. Fungsi ini sangat penting untuk merealisasikan tujuan
organisasi.
d.
Pengawasan
Pengawasan merupakan kegiatan untuk mengamati dan
mengukur segala kegiatan operasi dan pencapaian hasil dengan membandingkan
standar yang terlihat dalam rencana sebelumnya. Fungsi pengawasan menjamin segala
kegiatan berjalan sesuai dengan kebijakasanaan, strategi, rencana, keputusan
dalam program kerja yang telah dianalisis, di rumuskan serta di tetapkan
sebelumnya.
6. Peranan Manajemen Pendidikan
Manajemen Pendidikan berperan sebagai:
a. Penanggung
jawab dan pengendali
b. Pelaksana
efektifitas POAC operasional perusahaan/ sekolah sehari-hari
c. Melakukan
SWOT analisis
d. Pengelola
SDM dan sumber daya perusahaan/ sekolah
e. Menjalin
akses dengan stakeholders
f. Pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan
g. Pengembangan
perusahaan/ sekolah
h. Menyusun
strategi kelangsungan hidup
B. Urgensi dan Paradigma Baru dalam Manajemen Pendidikan
1. Latar Belakang Manajemen Pendidikan
Pada era reformasi (Paradigma Baru Manajemen
Pendidikan), masyarakat Indonesia menginginkan perubahan dalam semua aspek
kehidupan bangsa. Pembaharuan pada
sektor pendidikan yang memiliki peran strategis dan fungsional (Hujair
AH.Sanaky,2003:3 dalam Sudarmiani,2009:13), juga memerlukan paradigma baru yang
harus menekankan pada perubahan cara berpikir dalam pengelolaan dan pelaksanaan
pendidikan. Pendidikan yang telah berjalan selama ini tidak bisa menjadi
penggerak pembangunan di Indonesia, malahan pendidikan telah menghambat
pembangunan ekonomi dan teknologi, buktinya adalah dengan adanya kesenjangan
sosial, budaya, dan ekonomi.
Berbagai masalah yang timbul tersebut diakibatkan oleh
semakin lemahnya pendidikan nasional. Pembaharuan pendidikan nasional yang
telah mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas
paradigma dan peran pendidikan dalam pembangunan (zamroni,2000:5-6 dalam
Sudarmiani,2009:13). Paradigma tersebut harus berimplikasi pada perubahan
perspektif dalam pembangunan pendidikan, mulai dari perspektif yang menganggap pendidikan
sebagai sektor pelayanan umum ke perspektif pendidikan sebagai suatu investasi
produk yang mampu mendorong pertumbuhan masyarakat di berbagai bidang
kehidupan. Pendidikan sebagai faktor yang dipengaruhi oleh berbagai
permasalahan yang terjadi dalam berbagai kehidupan.
Melalui
paradigma baru tersebut, dimaksudkan pendidikan harus mampu melawan berbagai
tantangan dan permasalahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan. Pendidikan
dan kehidupan telah menyatu, maka pendidikan dapat dikatakan sebagai proses
memanusiakan manusia. Berikut ini adalah
langkah-langkah untuk melakukan rekonstruksi pendidikan dalam rangka membangun
paradigma baru sistem pendidikan nasional:
1)
Pendidikan nasional hendaknya memiliki visi yang
berorientasi pada demokratisasi bangsa.
2)
Pendidikan nasional hendaknya memiliki misi agar
tercipta partisipasi masyarakat secara menyeluruh. Pendidikan tidak hanya
terfokus dalam penyiapan tenaga kerja, tapi untuk memperkuat kemampuan dasar
pembelajar sehingga memungkinkan baginya untuk berkembang lebih jauh dalam
konteks kehidupan global.
3)
Substansi pendidikan dasar hendaknya mengacu pada
perkembangan potensi dan kreativitas pembelajar. Pendidikan mengengah dan
tinggi hendaknya diarahkan pada membuka kemungkinan pengembangan kepribadian
secara vertikal (keilmuan) dan horisontal (keterkaitan antar bidang keilmuan).
4)
Pendidikan dasar dan menengah perlu mengembangkan
sistem pembelajaran yang egaliter dan demokratis agar tidak terjadi
pengelompokan kelas atas dasar kemampuan akademik.
5)
Pendidikan tinggi harus mempersiapkan dan memperkuat
kemampuan dasar mahasiswa untuk memungkinkan mereka berkembang baik secara
individu, anggota masyarakat, maupun sebagai warga negara dalam konteks global.
6)
Kebijakan kurikulum untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional, harus memperhatikan tahap perkembangan pembelajar dan kesesuaian
dengan lingkungan, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, seni serta
sesuai dengan jenjang masing-masing
satuan pendidikan dengan mengembangkan proses pembelajaran kreatif.
7)
Perlu mengaktualisasikan enam unsur kapasitas belajar,
yaitu: Kepercayaan (confidence), Keingintahuan (curioucity), Sadar tujuan
(intensionality), Kendali diri (self control), Mampu bekerja sama (work
together), Kemampuan bergaul secara harmonis dan saling pengertian
(relatedness).
8)
Untuk menjaga relevansi outcome pendidikan, dengan
mengimplementasikan filsafat rekonstruksivisme dalam berbagai tingkat kebijakan
dan praktisi pendidikan.
9)
Pendidikan nasional hendaknya mendapatkan proporsi
alokasi dana yang cukup memadai.
10)
Realisasi pendidikan dalam konteks lokal diperlukan
badan-badan pembantu dalam dunia pendidikan. Misalnya saja ‘Dewan Sekolah’ yang
memiliki peran untuk memberi masukan-masukan dalam berbagai aspek.
11)
Menetapkan model rekruitmen pejabat pendidikan secara
profesional. Kompetensi dan sertifikasi guru dan dosen juga harus dilakukan
dengan profesional. Pemerintah harus membentuk badan ‘independen’ profesi guru
dan dosen yang anggotanya terdiri dari tenaga kependidikan profesional,
terpercaya, dan bertanggung jawab yang
akan menilai kompetensi profesional, keilmuan, personal dan sosial dari guru
dan dosen.
2. Perlunya Manajemen Pendidikan
Dalam paradigma baru manajemen pendidikan ini,
Depdiknas telah memetakan fungsi-fungsi pendidikan yang didesentralisasikan ke
sekolah (pemberian wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk mengatur daerahnya sendiri) sebagai Input, Proses, Output. Input: Perencanaan
dan evaluasi, kurikulum, pembelajaran, ketenagaan, fasilitas, keuangan, ke
pesertadidik, hubungan sekolah-masyarakat, iklim sekolah. Proses: Proses Belajar Mengajar dan Output: Prestasi
Peserta.
Manajemen pendidikan sangat diperlukan karena,
manajemen pendidikan ini digunakan untuk melihat kondisi global yang bergulir dan peluang masa depan dan hal ini
akan menjadi modal utama untuk
mengadakan perubahan paradigma dalam manajemen pendidikan. Modal ini akan dapat menjadi pijakan yang kuat untuk mengembangkan
pendidikan. Pada titik inilah diperlukan berbagai komitmen untuk perbaikan
kualitas. Ketika melihat peluang, dan peluang itu dijadikan modal, kemudian
modal menjadi pijakan untuk mengembangkan pendidikan yang disertai komitmen
yang tinggi, maka secara otomatis akan terjadi sebuah efek domino (positif)
dalam pengelolaan organisasi, strategi, SDM, pendidikan dan pengajaran,
biaya, serta marketing pendidikan.
Untuk menuju point education change (perubahan pendidikan) secara
menyeluruh, maka manajemen pendidikan adalah hal yang harus diprioritaskan
untuk kelangsungan pendidikan sehingga menghasilkan out-put yang diinginkan.
Walaupun masih terdapat institusi pendidikan yang belum memiliki manajemen yang
bagus dalam pengelolaan pendidikannya. Manajemen yang digunakan masih
konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan
tertinggal dari modernitas.
Jika manajemen pendidikan sudah tertata dengan baik dan membumi, niscaya
tidak akan lagi terdengar tentang pelayanan sekolah yang buruk, minimnya
profesionalisme tenaga pengajar, sarana-prasarana tidak memadai, pungutan liar,
hingga kekerasan dalam pendidikan. Manajemen dalam sebuah organisasi pada
dasarnya dimaksudkan sebagai suatu proses (aktivitas) penentuan dan pencapaian
tujuan organisasi melalui pelaksanaan empat fungsi dasar: planning,
organizing, actuating, dan controlling dalam
penggunaan sumberdaya organisasi. Karena itulah, aplikasi manajemen organisasi
hakikatnya adalah juga amal perbuatan SDM organisasi yang bersangkutan.
Dalam ranah aktivitas, implementasi manajemen terhadap pengelolaan
pendidikan haruslah berorientasi pada efektivitas (ketepatgunaan) terhadap
segala aspek pendidikan baik dalam pertumbuhan, perkembangan, maupun keberkahan
(dalam perspektif syariah). Berikut ini merupakan urgensi manajemen terhadap
bidang manajemen pendidikan:
a.
Manajemen Kurikulum
1)
Mengupayakan efektifitas perencanaan
2)
Mengupayakan efektifitas pengorganisasian dan
koordinasi
3)
Mengupayakan efektifitas pelaksanaan
4)
Mengupayakan efektifitas pengendalian/pengawasan
b.
Manajemen Personalia
Manajemen ini berkisar pada staff development (teacher
development), meliputi (Pengembangan Staff dan Guru):
1)
Training (Pelatihan)
2)
Musyawarah Guru
Mata Pelajaran (MGMP)
3)
Inservice Education (Intern Pendidikan/Pendidikan
Lanjutan)
c.
Manajemen Siswa
1)
Penerimaan Siswa
(Daya Tampung, Seleksi)
2)
Pembinaan Siswa
(Pengelompokkan, Kenaikan Kelas, Penentuan Program, Ekskul)
3)
Pemberdayaan OSIS
d.
Manajemen Keuangan
Dalam keuangan pengelolaan
pendidikan, manajemen harus berlandaskan pada prinsip:
efektivitas(ketepatgunaan), efisiensi (penghematan) dan pemerataan
Dalam kaitannya dengan uang dan
pendidikan, pegawai administrasi sekolah memiliki tugas dan harus bertanggung
jawab dalam hal-hal sebagai berikut :
1)
Hubungan dengan
masyarakat
2)
Penyusunan dan
pengembangan rencana anggaran pengeluaran belanja sekolah (RAPBS)
3)
Penataran
4)
Pengaturan
pemasokan
5)
Perencanaan dan
peningkatan fasilitas sekolah
6)
Pelaksanaan apa
yang telah direncanakan
7)
Evaluasi dan
pertanggung jawaban keuangan sekolah/laporan keuangan
e.
Manajemen Lingkungan
Urgensi manajemen terhadap
lingkungan pendidikan bertujuan dalam merangkul seluruh pihak terkait yang akan
berpengaruh dalam segala kebijakan dan keberlangsungan pendidikan, dan
memberdayakan masyarakat sekitar sekolah. Maksud hubungan sekolah dan masyarakat adalah:
1)
Untuk
mengembangkan pemahaman tentang maksud dan saran-saran dari sekolah,
2)
Untuk menilai
program sekolah
3)
Untuk
mempersarukan orang tua murid dan guru dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak
didik.
4)
Untuk
mengembangkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan sekolah.
5)
Untuk membangun
dan memelihara kepercayaan masyarakat.
6)
Untuk
memberitahu masyarakat tentang pekerjaan sekolah.
7)
Untuk
mengerahkan dukungan dan bantuan bagi pemeliharaan dan peningkatan program
sekolah.
3. Prinsip Manajemen Pendidikan
Untuk menjamin keberhasilan sebuah usaha maka
manajemen haruslah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip manajemen.
Prinsip-prinsip manajemen adalah dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti dari
keberhasilan sebuah manajemen.
Menurut Henry Fayol. Prinsip-prinsip dalam manajemen sebaiknya bersifat lentur dalam arti bahwa perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi khusus dan situasi yang berubah-rubah. Prinsip - prinsip umum manajemen menurut Henry Fayol terdiri dari:
Menurut Henry Fayol. Prinsip-prinsip dalam manajemen sebaiknya bersifat lentur dalam arti bahwa perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi khusus dan situasi yang berubah-rubah. Prinsip - prinsip umum manajemen menurut Henry Fayol terdiri dari:
a.
Pembagian kerja (Division of work)
Dalam pembagian kerja perlu
diperhatikan penempatan orang-orang yang sesuai dengan keahlian, pengalaman,
kondisi fisik dan mental. Tujuan pembagian kerja adalah agar diperoleh hasil
kerja yang terbaik. Pembagian kerja dapat membantu pemusatan tujuan dan merupakan
alat terbaik untuk memanfaatkan individu-individu dan kelompok sesuai dengan
bidang keahliannya. Oleh karena itu, dalam penempatan personil dalam organisasi
atau karyawan dalam lembaga/perusahaan harus menggunakan prinsip the right man
in the right place. Pembagian kerja harus rasional/objektif, bukan emosional
subyektif yang didasarkan atas dasar like and dislike (senang dan tidak
senang).
Dengan adanya prinsip orang yang
tepat ditempat yang tepat (the right man in the right place) akan memberikan
jaminan terhadap kestabilan, kelancaran dan efesiensi kerja. Pembagian kerja
yang baik merupakan kunci bagi penyelengaraan kerja. kecerobohan dalam
pembagian kerja akan berpengaruh kurang baik dan mungkin menimbulkan kegagalan
dalam penyelenggaraan pekerjaan, oleh karena itu, seorang manajer yang
berpengalaman akan menempatkan pembagian kerja sebagai prinsip utama yang akan
menjadi titik tolak bagi prinsip-prinsip lainnya.
b.
Pemberian Wewenang dan Tanggung Jawab (Authority and
responsibility)
Setiap personil atau karyawan yang
ditempatkan pada posisi prembagian tugasnya, harus dilengkapi dengan wewenang
untuk melakukan pekerjaan dan setiap wewenang melekat atau diikuti
pertanggungjawaban. Wewenang dan tanggung jawab harus seimbang. Setiap
pekerjaan harus dapat memberikan pertanggungjawaban yang sesuai dengan
wewenang. Oleh karena itu, makin kecil wewenang makin kecil pula pertanggungjawaban
demikian pula sebaliknya.
Tanggung jawab terbesar terletak
pada manajer puncak. Kegagalan suatu usaha bukan terletak pada karyawan, tetapi
terletak pada puncak pimpinannya karena yang mempunyai wewemang terbesar adalah
manajer puncak. oleh karena itu, apabila manajer puncak tidak mempunyai
keahlian dan kepemimpinan, maka wewenang yang ada padanya merupakan bumerang.
Setiap orang yang telah diserahi
tugas dalam bidang pekerjaan tertentu dengan sendirinya memiliki wewenang untuk
membantu memperlancar tugas-tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Wewenang
tersebut harus disertai tanggungjawab terhadap atasan atau terhadap tujuan yang
hendak dicapai. Antara wewenang dan tangungjawab harus seimbang. Wewenang
adalah hak memberikan perintah dan kekuasaan meminta kepatuhan dari yang
diperitah. Sedangkan Tangungjawab adalah tugas dan fungsi-fungsi atau kewajiban
yang harus dilakukan oleh seorang petugas.
c.
Memiliki Disiplin (Discipline)
Disiplin merupakan perasaan taat dan
patuh terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawab. Disiplin ini berhubungan
erat dengan wewenang. Apabila wewenang tidak berjalan dengan semestinya, maka
disiplin akan hilang. Oleh karena ini, pemegang wewenang harus dapat menanamkan
disiplin terhadap dirinya sendiri sehingga mempunyai tanggung jawab terhadap
pekerajaan sesuai dengan wewenang yang dipegangnya. Tertib atau disiplin akan
meningkatkan kualitas kerja, dan peningkatan kualitas kerja akan pula menaikkan
mutu hasil kerja.
Dalam setiap organisasi, lembaga
atau perusahaan akan berhasil seperti yang diinginkan, maka haruslah
menciptakaan aturan atau tata tertib yang mapan, dan tata tertib tersebut
haruslah dilakukan dengan penuh disiplin oleh seluruh komponen yang ada dalam
organisasi, lembaga atau perusahaan tersebut.
d.
Adanya Kesatuan Komando atau perintah (Unity of
command)
Dalam organisasi atau perusahaan,
seorang pemimpin atau manajer harus memperikan perintah kepada bawahannya,
harus jelas komando atau perintahnya. Jika dalam organisasi atau perusahaan
mempunyai jenjang struktur, perintah dari pimpinan yang paling atas ke pimpinan
di bawahnya harus satu bahasa dan satu kesatuan perintah. Hal ini dilakukan
agar tidak terjadi overlap atau tumpang tindih pemahaman yang diterima oleh
bawahannya.
Begitu juga dalam melakasanakan
pekerjaan dari atasannya , personil atau karyawan harus memperhatikan prinsip
kesatuan perintah sehingga pelaksanaan kerja dapat dijalankan dengan baik.
Karyawan harus tahu kepada siapa ia harus bertanggung jawab sesui dengan
wewenang yang diperolehnya. Perintah yang datang dari manajer lain kepada seorang
karyawan akan merusak jalannya wewenang dan tanggung jawab serta pembagian
kerja. Untuk setiap tindakan dan bagi setiap petugas harus menerima perintah
hanya dari seorang atasan saja. Jika perintah datang hanya dari satu sumber
maka setiap orang juga akan tahu kepada siapa ia harus bertanggungjawab sesuai
wewenang yang telah diberikan kepadanya.
e.
Adanya Kesatuan Arahan (Unity of direction)
Dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya, personil atau karyawan perlu diarahkan menuju tujuan yang
menjadi sasarannya. Seorang pemimpin atau manajer harus dapat memberi
pengarahan yang jelas terhadap anak buahnya. Kejelasan komunikasi dalam
menyampaikan pesan-pesan juga harus jelas struktur kalimat yang digunakan,
sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Begitu juga dalam memberikan arahan
antara pimpinan satu dengan pimpinan yang lain harus ada kesatuan bahasa atau
kesatuan arah yang jelas. Kesatuan pengarahan bertalian erat dengan pembagian
kerja. Kesatuan pengarahan tergantung pula terhadap kesatuan perintah. Dalam
pelaksanaan kerja bisa saja terjadi adanya dua perintah sehingga menimbulkan
arah yang berlawanan.
Oleh karena itu, perlu alur yang
jelas dari mana karyawan mendapat wewenang untuk melaksanakan pekerjaan dan
kepada siapa ia harus mengetahui batas wewenang dan tanggung jawabnya agar
tidak terjadi kesalahan. Pelaksanaan kesatuan pengarahan (unity of directiion)
tidak dapat terlepas dari pembagian kerja, wewenang dan tanggung jawab, disiplin,
serta kesatuan perintah.
f.
Mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan
sendiri
Setiap komponen organisasi, lembaga
atau perusahaan baik pimpinan atau personil/karyawan harus mengabdikan
kepentingan pribadi demi kepentingan organisasi atau perusahaan. Hal semacam
itu merupakan suatu syarat yang sangat penting agar setiap kegiatan berjalan
dengan lancar sehingga tujuan yang direncanaakan dapat tercapai dengan baik.
Jika Setiap unsur organisasi atau
perusahaan , baik pimpinan atau karyawan dapat mengabdikan kepentingan
pribadinya untuk kepentingan organisasi, maka kesuksesan membangun organisasi
atau perusahaan dapat diwujudkan dengan mudah. Adanya kesadaran bahwa
kepentingan pribadi sebenarnya tergantung kepada berhasil-tidaknya kepentingan organisasi,
itulah sebenarnya wujud prinsip yang harus dibangun. Prinsip pengabdian
kepentingan pribadi kepada kepentingan organisasi dapat terwujud, apabila
setiap pimpinan dan karyawan merasa senang dalam bekerja sehingga memiliki
disiplin yang tinggi.
g.
Adanya Pemberian Kesejahteraan atau gaji pegawai
Imbalan kerja, upah, gaji atau
apapun namanya, bagi setiap personil organisasi, lembaga atau perusahaan,
merupakan kompensasi yang menentukan terwujudnya kelancaran dalam bekerja.
Karyawan atau staf yang memliki perasaan cemas, tertekan dan kekurangan dalam
kebutuhan hidup sehari-harinya akan sulit berkonsentrasi terhadap tugas dan
kewajibannya sehingga dapat mengakibatkan ketidaksempurnaan dalam bekerja. Oleh
karena itu, dalam prinsip pemberian kesejahteraan, imbalah atau penggajian
harus dipikirkan bagaimana agar karyawan dapat bekerja dengan rasa senang,
tenang dan nyaman.
Sistem penggajian harus
diperhitungkan agar menimbulkan kedisiplinan dan kegairahan kerja sehingga
karyawan berkompetisi untuk membuat prestasi yang lebih besar. Prinsip more pay
for more prestige (upaya lebih untuk prestasi lebih), dan prinsip upah sama
untuk prestasi yang sama perlu diterapkan sebab apabila ada perbedaan akan
menimbulkan kelesuan dalam bekerja dan mungkin akan menimbulkan tindakan tidak
disiplin. Prinsip keadilan dan pemberian sesuai job, harus juga dikomunkasikan
terlebih dahulu, sehingga tidak menimbulkan kecermburuan social dalam organisasi
atau perusahaan tersebut.
h.
Adanya Pemusatan
Wewenang (Centralization)
Pemusatan wewenang akan menimbulkan
pemusatan tanggung jawab dalam suatu kegiatan. Tanggung jawab terakhir terletak
ada orang yang memegang wewenang tertinggi atau manajer puncak. Pemusatan bukan
berarti adanya kekuasaan untuk menggunakan wewenang, melainkan untuk
menghindari kesimpangsiuran wewenang dan tanggung jawab. Pemusatan wewenang ini
juga tidak menghilangkan asas pelimpahan wewenang (delegation of authority)
i.
Adanya Hirarki (tingkatan)
Pembagian kerja menimbulkan adanya
atasan dan bawahan. Bila pembagian kerja ini mencakup area yang cukup luas akan
menimbulkan hirarki. Hirarki diukur dari wewenang terbesar yang berada pada
manajer puncak dan seterusnya berurutan ke bawah. dengan adanya hirarki ini,
maka setiap karyawan akan mengetahui kepada siapa ia harus bertanggung jawab
dan dari siapa ia mendapat perintah.
j.
Adanya Keadilan dan kejujuran
Keadilan dan kejujuran merupakan
salah satu syarat untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Keadilan dan
kejujuran terkait dengan moral karyawan dan tidak dapat dipisahkan. Keadilan
dan kejujuran harus ditegakkan mulai dari pimpinan (atasan) karena pimpinan
memiliki wewenang yang paling besar. Manajer yang adil dan jujur akan
menggunakan wewenangnya dengan sebaik-baiknya untuk melakukan keadilan dan
kejujuran pada bawahannya.
Keadilan dituntut misalnya dalam
penempatan tenaga kerja yang harus benar-benar dipertimbangkan berdasarkan
pendidikan, pengalaman dan keahlian seseorang. Kecuali itu keadilan juga
dituntut dalam pembagian upah, sesuai berat ringannya pekerjaan dan
tanggungjawab seseorang.
Kejujuran dituntut agar masing-masing orang bekerja untuk kepentingan bersama bukan mendahulukan kepentingan pribadi.
Kejujuran dituntut agar masing-masing orang bekerja untuk kepentingan bersama bukan mendahulukan kepentingan pribadi.
k.
Adanya Stabilitas kondisi karyawan
Dalam setiap kegiatan kestabilan
karyawan harus dijaga sebaik-baiknya agar segala pekerjaan berjalan dengan
lancar. Kestabilan karyawan terwujud karena adanya disiplin kerja yang baik dan
adanya ketertiban dalam kegiatan.
Manusia sebagai makhluk sosial yang berbudaya memiliki keinginan, perasaan dan pikiran. Apabila keinginannya tidak terpenuhi, perasaan tertekan dan pikiran yang kacau akan menimbulkan goncangan dalam bekerja.
Manusia sebagai makhluk sosial yang berbudaya memiliki keinginan, perasaan dan pikiran. Apabila keinginannya tidak terpenuhi, perasaan tertekan dan pikiran yang kacau akan menimbulkan goncangan dalam bekerja.
l.
Adanya Prakarsa (Inisiative)
Prakarsa timbul dari dalam diri
seseorang yang menggunakan daya pikir. Prakarsa menimbulkan kehendak untuk
mewujudkan suatu yang berguna bagi penyelesaian pekerjaan dengan sebaik-baiknya.
Jadi dalam prakarsa terhimpun kehendak, perasaan, pikiran, keahlian dan
pengalaman seseorang.
Oleh karena itu, setiap prakarsa
yang datang dari karyawan harus dihargai. Prakarsa (inisiatif) mengandung arti
menghargai orang lain, karena itu hakikatnya manusia butuh penghargaan. Setiap
penolakan terhadap prakarsa karyawan merupakan salah satu langkah untuk menolak
gairah kerja. Oleh karena itu, seorang manajer yang bijak akan menerima dengan
senang hari prakarsa-prakarsa yang dilahirkan karyawannya.
m. Semangat
kesatuan dan semangat korps
Setiap karyawan harus memiliki rasa
kesatuan, yaitu rasa senasib sepenanggungan sehingga menimbulkan semangat kerja
sama yang baik. semangat kesatuan akan lahir apabila setiap karyawan mempunyai
kesadaran bahwa setiap karyawan berarti bagi karyawan lain dan karyawan lain
sangat dibutuhkan oleh dirinya. Manajer yang memiliki kepemimpinan akan mampu
melahirkan semangat kesatuan (esprit de corp), sedangkan manajer yang suka
memaksa dengan cara-cara yang kasar akan melahirkan friction de corp
(perpecahan dalam korp) dan membawa bencana.
4. Unsur-unsur Utama dalam Manajemen Pendidikan
Dalam manajemen terdapat unsur-unsur atau
komponen-komponen yang membuatnya menjadi suatu proses yang berifat mengatur
dan mengontrol, unsur tersebur seperti: Perencanaan,
pengorganisasian,pengendalian dan pengawasan tidak hanya itu Manusia juga merupakan unsur
yang utama dalam manajemen pendidikan, karena seluruh tahapan tahapan fungsi
manajemen pasti melibatkan manusia sebagai pelakunya.
Dalam fungsi perencanaan hanya
manusia yang dapat melakukanya begitu pula dalam pengorganisasian, dalam
pencapaian tujuan organisasi pendidikan pun juga demikian, manusia sebagai
pelakunya karena dalam tahapan ini tentunya manusia sebagai unsur dari
manajemen sebuah Organisasi pendidikan akan berusaha mencari cara-cara ataupun metode
yang tepat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan organisasinya dengan sebaik-baiknya
dan dengan cara yang efektif dan efisien.Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa semua unsur-unsur dan fungsi manajemen tidak akan bisa berjalan tanpa
adanya manusia sebagai pelaku dan unsur utama dalam sebuah manajemen
pendidikan.
5. Implikasi Manajemen Pendidikan dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan
Dalam peningkatan mutu pendidikan terdapat 3 faktor
penyebab rendahnya mutu pendidikan yaitu:
a.
Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional
menggunakan pendekatan educational production function atau input – input
analisis yang tidak konsisten.
b.
Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara
sentralistik.
c.
Peran serta mayarakat khususnya orang tua siswa dalam
penyelenggaraan pendidikan sangat minim.
Berdasarkan penyebab tersebut dan dengan adanya era
otonomi daerah yang sedang berjalan maka kebijakan strategis yang diambil
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam meningkatkan mutu
pendidikan untuk mengembangkan SDM adalah :
a.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MBS)
dimana sekolah diberikan kewenangan untuk merencanakan sendiri upaya
peningkatan mutu secara keseluruhan.
b.
Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas
(community based education)
c.
Dengan menggunakan paradigma belajar yang akan
menjadikan pelajar-pelajar menjadi manusia yang diberdayakan.
Komponen yang terkait dengan mutu pendidikan tersebut adalah:
Komponen yang terkait dengan mutu pendidikan tersebut adalah:
1)
Siswa:
a) Kesiapan dan
motivasi belajar siswa
b) Sarasan
belajar siswa
2)
Guru:
a. Kemampuan
professional.
b. Moral
kerjanya (kemampuan personal).
c. Kerjasamanya
(kemampuan social)
3)
Kurikulum : Relevansi konten dan operasionalisasi
proses pembelajarannya.
4)
Sarana dan prasarana : Kecukupan dan keefektifan dalam
mendukung proses pembelajaran.
5)
Masyarakat : Partisipasinya dalam mengembangkan program-program
pendidikan.
Berdasarkan praktik penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia selama ini, dan langkah-langkah yang telah dirintis (baik oleh
pemerintah maupun masyarakat) serta kebijakan ke depan, konsep mutu baik dalam
pengertian absolute, relative (standar), maupun kepuasan pelanggan/konsumen,
ketiganya dianut secara sinergis, bersamaan dan saling melengkapi.
Di Indonesia
dikenal adanya sekolah – sekolah unggulan (sebagai nama “generic”, bukan nama
dari suatu sekolah) baik yang diprakarsai oleh pemerintah termasuk pemerintah
provinsi/kabupaten kota) maupun tumbuh atas prakarsa masyarakat termasuk dunia
usaha. Masyarakat di Jakarta dan sekitarnya sebagai contoh mengenal adanya
sekolah – sekolah seperti SMU 8 (sekolah
negeri), sekolah-sekolah al-azhar (TK-SMU), sekolah-sekolah dibawah nama
“Global Jaya”, Sekolah dibawah nama “Pelita Harapan”, “Pangudi Luhur”, “Regina
Pacis”, dan masih banyak yang lainnya. Mereka adalah sekolah-sekolah yang ingin
tampil beda, dengan kekhasan yang tidak dimiliki oleh sekolah lain.
Meskipun
tidak ada yang terus terang mengklaim dirinya yang terbaik (karena alasan
etika), visi mereka adalah visi mutu dalam pengertian yang pertama. Apakah
dalam kenyataan terbukti atau tidak bahwa mereka adalah yang terbaik, yang
paling tahu adalah konsumen dan pengelola sekolah yang bersangkutan. Sebenarnya
masing-masing sekolah itu memiliki keunggulan tertentu (dengan pangsa pasar
tertentu), dan tidak sembarang calon siswa dapat diterima disana dan secara
relative bersifat elitis. Menyelenggarakan pendidikan yang ‘elitis’ tentu tidak
salah asal persyaratannya jelas dan terbuka, tidak bertentangan dengan tujuan
pendidikan nasional dan ketentuan perundangan yang berlaku dan hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Dari segi kepuasan pelanggan
pendidikan jenis ini justru sangat reponseif terhadap kebutuhan konsumen karena
kalau tidak, mereka tidak akan diminati.
Mutu dalam
pengertian relative diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia, antara lain
terbukti dengan adanya kurikulum nasional yang memberikan perincian tujuan yang
ingin dicapai, rumusan standar kompetensi yang diinginkan, standar isi, dan
system penilaian yang di standar yang diantaranya berupa ujian nasional. Ujian
nasional sebagai alat pengukur pencapaian standar kompetensi, juga menjadi
standar yang dapat dinaikan atau diturunkan derajat kualitasnya sesuai
kesepakatan. Kalau hasil ujian nasional secara keseluruhan memuaskan,
standarnya secara berangsur-angsur dinaikan dan hal ini dikaitkan dengan upaya
peningkatan mutu pendidikan untuk mencapai standar mutu yang lebih tinggi.
Di samping
standar nasional, terdapat standar local maupun sekolah. Di luar standar yang
sifatnya substantif, pemerintah juga melakukan pengecekan standar yang
berkaitan dengan kinerja satuan pendidikan dan kelayakan pengelolaan satuan
pendidikan melalui system akreditasi. Wawasan mutu pendidikan
berdasarkan kepuasan konsumen sudah lama disadari, terutama kalangan
penyelenggara pendidikan swasta yang tergolong ke atas. Dalam kurun waktu
pemerintahan yang sentralisasinya masih kuat pun mereka sudah berjuang keras
untuk menarik minat masyarakat agar tetap eksis, melalui persaingan yang ketat.
Bagi mereka,
mengikuti aturan pemerintah, pengarahan, bimbingan, panduan, dan petunjuk
hanyalah kewajiban formal, yang lebih penting menentukan hidup matinya lembaga
pendidikan yang dikelola adalah minat masyarakat untuk memasukan putra-putrinya
ke lembaga pendidikan yang mereka tawarkan. Berdasarkan pengalaman,
lembaga-lembaga pendidikan swasta yang kurang responsive terhadap aspirasi
masyarakat banyak yang terpaksa tutup karena
kekurangan murid atau sebagaian di antaranya “hidup tak hendak mati tak mau”. Sementara
itu, lembaga-lembga pendidikan milik pemerintah yang dulunya merasa diperlukan
oleh masyarakat dan keberadaaannya tidak
tergantung masyarakat, sekarang dipakssa oleh keadaaan harus memperhatikan
keinginan masyarakat dengan dibentuknya Komite Sekolah, antara lain menyalurkan
aspirasi masyarakat pengguna jasa pendidikan.
Hal ini lebih diperkuat lagi dengan penerapan
manajemen berbasis sekolah seperti ditetapkan oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang
SISDIKNAS, khususnya pasal 51, ayat (1). Dalam penjelasan pasal ini, yang
dimaksud manajemen berbasis sekolah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan
pada satuan pendidikan. Dalam hal ini, kepala sekolah dan guru dibantu oleh
komite sekolah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Dari penjelasan pasal 51,
ayat (1) tersebut, wawasan mutu dari segi kepauasan konsumen sudah built-in (terpadu)
dalam penerapan manajemen berbasis sekolah dan sekolah-sekolah negeri yang
benar tidak mungkin mengelak.
Tambahan
lagi, disuatu wilayah yang Jumlah
sekolahnya mencukupi untuk menampung semua siswa usia sekolah dan masyarakatnya
terdidik (peduli pendidikan), mau tidak mau, masyarakat akan memilih sekolah
yang oleh mereka dianggap favorit (karena
memiliki kelebihan) tidak peduli sekolah negeri atau swasta. Dalam situasai
seperti ini sekolah-sekolah negeri yang tadinya ‘adem ayem’ terpaksa harus
berkompetisi satu sama lain, kalau tidak ingin dipermalukan oleh masyarakat.
Hal ini, antara ain yang menyebabkan
program perintisan MBS didahulukan pada sebagian sekolah-sekolah negeri.
Jelasnya,
wawasan mutu pendidikan yang bersifat menyeluruh baik dari segi ranah
kompetensi yang harus dicapai maupun ketiga konsep mutu, secara terpadu
semuanya dipakai dan saling mengisi. Hanya di dalam kenyataan/praktik, suatu
lembaga sesuai dengan kondisinya lebih memfokuskan pada wawasan mutu tertentu.
Wawasan tentang mutu yang dianut oleh suatu lembaga pendidikan, pada gilirannya
akan sangat berpengaruh terhadap praktik manajemen pada satuan pendidikan yang
bersangkutan. Akhirnya dalam implikasi konsep mutu dalam pendidikan ini perlu
diperhatikan beberapa catatan sebagai berikut:
a.
Setiap penyelenggaran dan pengelola pendidikan perlu
memahami betul visi atau wawasan tentang mutu pendidikan sehingga dengan jelas
dapat mengarahkan ke masa satuan pendidikan yang dikelola akan diarahkan.
Bagaimana satuan pendidikan dengan kesadaran memposisikan dirinyaa di dalam
upaya peningkatan mutu jauh lebih penting daripada berbagai arahan yang
dipaksakan dari luar atau dari atas dan
untuk itulah MBS dikembangkan.
b.
Konsep mutu dalam pengertian standar yang benar-benar
teliti sulit diterapkan dalam dunia pendidikan, apalagi konsep ini semula
diterapkan di dunia bisnis terutama berkaitan dengan dunia produksi barang.
Konsep standar yang berarti penerapan system kualitas harus dapat menjaga
konsistensi mutu produk, agaknya secara metodologi sulit untuk diterapkan di
dunia pendidikan. Ada kesulitan menstandarkan input-proses-dan output pendidikan
meskipun ada yang berupaya kearah itu, misal menyeleksi calon siswa, guru-guru,
kurikulum standar, serta ujian/tes yang standar. Misalnya , menstandarkan
persyaratan siswa yang masuk melalui seleksi tertentu dapat dilakukan, masih
ada problem tentang sidak dan motivasi tiap anak yang berbeda, apalagi dari
segi kepribadian dan potensi lainnya, setiap memiliki keunikan.
Dari segi proses tak ada guru yang
secara konsisten mengupayakan pengalaman belajar yang sama , dan seandainya ada
hal ini justru sesuai perkembangan dan kepribadiannya. Dari sisi produk,
bagaimanapun upaya system manajemen mutu yang dilakukan sulit untuk menjamin
konsistensi kualitas hasil yang terukur/cermat, berbeda dengan produk yang
berupa barang yang konsistensinya lebih dapat dijamin dari desain, bahan, mesin
pemroses, dan hasilnya. Berkaitan dengan produk ini, ada yang beranggapan bahwa
siswa merupakan produk pendidikan. Akan tetapi
dari sisi pandangan bahwa pendidikan sebagai lembaga yang menyediakan
jasa , siswa adalah konsumen/klien ‘primer’, yang langsung menggunakan/menikmati
jasa pendidikan. Dengan demikian layanan dan proses pendidikan yang diterima
atau dialami oleh siswa dapat dipandang sebagai produk pendidikan. Dalam hal
ini, apa pun pandangan yang dianut untuk menjaga konsistensi standar keduanya
bukanlah sesuatu yang mudah.
Lalu bagaimana penjaminan mutu
dengan standar-standar yang digunakan dapat dilakukan di dunia pendidikan
(lembaga pendidikan) ? Langkah praktis sementara yang ditempuh adalah
mengalihkan focus bukan pada proses belajarnya, tetapi lebih pada perolehan hak
layanan (level of entitlement) yang diharapkan oleh siswa dari institusi
yang bersangkutan. Kalau tingkat memperoleh hak layanan yang disediakan oleh
suatu sekolah didefinisikan dengan baik dan terus menerus dijaga konsistensinya
maka hal ini akan mempunyai dampak pada proses pembelajaran yang efektif, tanpa
harus mengamati konsistensi proses belajar – mengajar yang merupakan suatu seni
dan profesionalisme guru.
Hak memperoleh layanan dimaksud, misalnyaa
layanan remedial, program pengayaan, informasi atas nilai, berkonsultasi dengan
guru, penggunaan perpustakaan, dan fasilitas lain serta laboratorium, komputer,
sarana olahraga, dan lainlain yang dijanjikan dan disediakanoleh sekolah secara
jelas dan dijaga konsistensinya oleh manajemen sekolah.
c.
Siapa konsumen atau pelanggan pendidikan ? Konsumen
mana yang dianggap dapat memberikan penilaian (judgement) atas mutu
pendidikan ?
Menurut Sallis, (1993) ada konsumen eksternal dan
konsumen internal. Siswa merupakan konsumen primer karena merekalah yang
memperoleh layanan langsung dari institusi pendidikan. Orang tua dan pemerintah
sebagai konsumen sekunder karena mereka yang membiayai individu atau institusi
pendidikan yang bersangkutan sehingga sangat penting dan menentukan. Pengguna
lulusan (dunia kerja), pemerintah, dan masyarakat luas sebagai konsumen tersier
karena sungguhpun tidak langsung berhubungan dengan lembaga pendidikan, tetapi
pengaruhnya sangat penting. Konsumen primer, sekunder, dan tersier dimaksud
merupakan konsumen eksternal seiring juga disebut (eksternal stakeholders). Di
samping konsumen eksternal, terdapat konsumen internal yaitu para guru/staf
pengajar dan staf sekolah pada umumnya. Peran mereka dalam mengupayakan layanan pendidikan yang
bermutu sangat penting di dalam pengelolaan mutu pendidikan. Oleh karena itu, feedback
dan kerja sama antara mereka sangat
penting di dalam pengelolaan mutu pendidikan. Di dalam praktiknya sekarang
suara masyarakat sebagai salah satu stakeholders sering di ambil alih
oleh DPR/DPRD karena mereka merasa secara resmi dianggap sebagai wakil rakyat.
Dalam konteks Indonesia saat ini, ada institusi Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah yang perannya lebih focus pada akuntabilitas pelaksanaan
pendidikan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manajemen pendidikan ialah proses
perencanaan, pengorganisasian, memimpin, mengendalikan tenaga pendidikan,
sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan, mencerdaskan kehidupan
bangsa, mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman & bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan,
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri,
serta bertanggung jawab kemasyarakat dan bangsa.
Tujuan dan manfaat
dari manajemen pendidikan diantaranya yaitu:
a.
Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran
yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan dan bermakna (Pakemb)
b.
Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan
efesien
c.
Teratasinya masalah mutu pendidikan.
d.
Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang
proses dan tugas administrasi pendidikan
Fungsi dan peranan dari manajemen pendidikan
diantaranya yaitu:
1. Fungsi
manajemen yang terdapat dalam pendidikan meliputi fungsi perencanaan atau planning,
fungsi pengorganisasian atau organizing, fungsi pengarahan atau directing,
dan fungsi pengendalian atau controlling.
2.
Peran manajemen dalam pendidikan yaitu: Manajemen
Pendidikan berperan sebagai:
a. Penanggung
jawab dan pengendali
b. Pelaksana
efektifitas POAC operasional perusahaan/ sekolah sehari-hari
c. Melakukan
SWOT analisis
d. Pengelola
SDM dan sumber daya perusahaan/ sekolah
e. Menjalin
akses dengan stakeholders
f. Pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan
g. Pengembangan
perusahaan/ sekolah
h. Menyusun
strategi kelangsungan hidup
Manajemen pendidikan sangat diperlukan karena, pada
intinya manajemen pendidikan ini digunakan untuk melihat kondisi global yang bergulir dan peluang masa depan dan hal ini
akan menjadi modal utama untuk
mengadakan perubahan paradigma dalam manajemen pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar