Sabtu, 14 Desember 2013

Manajemen Pendidikan



BAB  I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Rendahnya mutu pendidikan di indonesia merupakan masalah tersendiri di negara kita. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Mutu pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah. Hal ini mempunyai dampak yang sangat besar bagi majunya kehidupan masyarakat dalam segala aspek bidang kehidupan. Sehingga pemerintah berinisiatif untuk mencari solusi dalam menangani masalah ini. Untuk menciptakan masyarakat yang maju maka hal perlu diperhatikan terlebih dahulu adalah bagaimana mewujudkan pendidikan yang bermutu yang pada akhirnya mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.  Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan adalah melalui penerapan Manajemen Pendidikan/ Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).  Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas lebih lanjut tentang manajemen pendidikan dan urgensinya dalam pendidikan.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.         Apa yang dimaksud dengan manajemen pendidikan
2.         Apa saja tujuan dan manfaat dari manajemen pendidikan
3.         Apa saja fungsi dan peranan dari manajemen pendidikan
4.         Bagaimana urgensi manajemen dalam pendidikan

C.  Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Untuk mengetahui dan memahami pengertian manajemen pendidikan
2.    Untuk mengetahui dan memahami tujuan dan manfaat dari manajemen pendidikan
3.    Untuk mengetahui dan memahami fungsi dan peranan dari suatu manajemen     pendidikan.
4.    Untuk mengetahui dan memahami urgensi manajemen dalam suatu pendidikan



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hakekat Manajemen Pendidikan
Dalam peningkatan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan,  terdapat beberapa komponen yang sangat penting untuk mendukung  salah satunya yaitu penyelenggaraan manajemen pendidikan yang dalam lingkup mikro disebut juga manajemen sekolah. Tanpa adanya manajemen pendidikan yang baik maka kemungkinan segala upaya peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan akan gagal sama sekali. Bidang ataupun aspek apapun yang akan dibenahi akhirnya kembali kepada adanya prasyarat utama yaitu terselenggaranya manajemen pendidikan yang handal. Masalah manajemen pendidikan adalah masalah yang sangat berperan dalam proses penyelenggaraan pendidikan baik sebagai sarana maupun alat penataan bagi komponen pendidikan lainnya.
1.    Definisi Manajemen
Dari segi bahasa management berasal dari kata manage (to manage) yang berarti “to conduct or to carry on, to direct” (Webster Super New School and Office Dictionary). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Manajemen diartikan sebagai “Proses penggunaan sumberdaya secara efektif untuk mencapai sasaran”(Kamus Besar Bahasa Indonesia). Adapun dari segi Istilah telah banyak para ahli telah memberikan pengertian manajemen, dengan formulasi yang berbeda-beda, berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian manajemen menurut beberapa ahli:
a.    (Prajudi Atmosudirdjo,1982 : 124): Manajeme itu adalah pengendalian dan pemanfaatan daripada semua faktor dan sumberdaya, yang menurut suatu perencanaan (planning), diperlukan untuk mencapai atau menyelesaikan suatu prapta atau tujuan kerja yang tertentu.

b.    (George R. Terry, 1986:4) Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindsakan-tindakan : Perencanaan, pengorganisasian, menggerakan, dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia serta sumber-sumber lain.

c.    (Sondang P. Siagian. 1997 : 5): Manajemen dapat didefinisikan sebagai “kemampuan atau ketrampilan untuk memperoleh sesuatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain”.

2.    Definisi Pendidikan
Ditinjau dari sudut hukum,  defenisi pendidikan berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 1 ayat (1) yaitu : ”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.


3.    Hakekat Manajemen Pendidikan
Manajemen pendidikan merupakan suatu seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan yang digunakan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Manajemen pendidikan dapat pula didefenisikan sebagai seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efesien.  Manajemen pendidikan dapat pula diartikan sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif, efisien mandiri, dan akuntabel.
Berikut ini, terdapat beberapa definsi manajemen pendidikan menurut beberapa ahli diantaranya:
a.    Biro Perencanaan Depdikbud, (1993:4): Manajemen pendidikan ialah proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin, mengendalikan tenaga pendidikan, sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman & bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri, serta bertanggung jawab kemasyarakat dan bangsa.

b.    Soebagio Atmodiwirio. (2000:23): Manajemen pendidikan dapat didefinisikan sebagi proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin, mengendalikan tenaga pendidikan, sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.

c.    Engkoswara (2001:2): Manajemen pendidikan ialah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana menata sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara produktif dan bagaimana menciptakan suasana yang baik bagi manusia yang turut serta di dalam mencapai tujuan yang disepakati bersama.

4.    Tujuan dan Manfaat Manajemen Pendidikan
Tujuan dan manfaat manajemen pendidikan antara lain:
a.    Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan dan bermakna (Pakemb)
b.     Terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
c.    Terpenuhinya salah satu dari 5 kompetensi tenaga kependidikan (tertunjangnya kompetensi manajerial tenaga kependidikan sebagai manajer)
d.   Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efesien
e.    Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas administrasi pendidikan (tertunjangnya profesi sebagai manajer atau konsultan manajemen pendidikan)
f.     Teratasinya masalah mutu pendidikan, karena 80% masalah mutu disebabkan oleh manajemennya
g.    Terciptanya perencanaan pendidikan yang merata, bermutu, relevan, dan akuntabel
h.    Meningkatkan citra positif pendidikan.

5.    Fungsi Manajemen Pendidikan
Manajemen pendidikan dalam prakteknya membutuhkan berbagai fungsi manajemen. Fungsi manajemen yang terdapat dalam pendidikan meliputi fungsi perencanaan atau planning, fungsi pengorganisasian atau organizing, fungsi pengarahan atau directing, dan fungsi pengendalian atau controlling. Berikut penjelasan dari fungsi-fungsi tersebut:
a.    Perencanaan (Planning)
Ini adalah fungsi paling awal dari semua fungsi manajemen, para ahli juga menyutujui hal tersebut. Perencanaan adalah proses kegiatan untuk menyajikan secara sistematis segala kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Perencanaan dapat diartikan sebagai penetapan tujuan, budget, policy prosedur, dan program suatu organisasi. Dengan adanya perencanaan, fungsi manajamen berguna untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai, menetapkan biaya, menetapkan segala peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan.
Perencanaan meliputi beberapa aspek, diantaranya apa yang akan dilakukan, siapa yang akan melakukan, kapan dilakukan, di mana akan dilakukan, bagaimana cara melakukannya, apa saja yang dibutuhkan agar tercapai tujuan dengan maksimal. Hadari Nawawi menjelaskan arti perencanaan yaitu suatu langkah untuk menyelesaikan masalah ketika melaksanakan suatu kegiatan dengan tetap terarah terhadap pencapaian target(tujuan tertentu).

b.     Pengorganisasian
Didalam sistem manajemen, pengorganisasian adalah lanjutan dari fungsi perencanaan. Bagi suatu lembaga atau organisasi, pengorganisasian merupakan urat nadi organisasi. Oleh sebab itu, keberlangsungan organisasi atau lembaga sangat di pengaruhi oleh pengorganisasian. Pengorganisasian menurut Heidjarachman Ranupandojo adalah kegiatan yang di lakukan oleh sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu, pelaksanaannya dengan membagi tugas, tanggung jawab, serta wewenang di antara kelompoknya, ditentukan juga yang akan menjadi pemimpin dan saling berintegrasi dengan aktif.

c.    Penggerakkan(actuating)
Penggerakkan berfungsi untuk merealisasikan hasil perencanaan dan pengorganisasian. Actuating merupakan usaha untuk mengarahkan atau menggerakkan tenaga kerja atau man power dan mendayagunakan fasilitas yang tersedia guna melaksanakan pekerjaan secara bersamaan. Fungsi ini memotifasi bawahan atau pekerja untuk bekerja dengan sungguh-sungguh supaya tujuan dari organisasi dapat tercapai dengan efektif. Fungsi ini sangat penting untuk merealisasikan tujuan organisasi.

d.   Pengawasan
Pengawasan merupakan kegiatan untuk mengamati dan mengukur segala kegiatan operasi dan pencapaian hasil dengan membandingkan standar yang terlihat dalam rencana sebelumnya. Fungsi pengawasan menjamin segala kegiatan berjalan sesuai dengan kebijakasanaan, strategi, rencana, keputusan dalam program kerja yang telah dianalisis, di rumuskan serta di tetapkan sebelumnya.

6.    Peranan Manajemen Pendidikan
Manajemen Pendidikan berperan sebagai:
a.    Penanggung jawab dan pengendali
b.    Pelaksana efektifitas POAC operasional perusahaan/ sekolah sehari-hari
c.    Melakukan SWOT analisis
d.   Pengelola SDM dan sumber daya perusahaan/ sekolah
e.    Menjalin akses dengan stakeholders
f.     Pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
g.    Pengembangan perusahaan/ sekolah
h.    Menyusun strategi kelangsungan hidup


B.  Urgensi dan Paradigma Baru dalam Manajemen Pendidikan
1.    Latar Belakang Manajemen Pendidikan
Pada era reformasi (Paradigma Baru Manajemen Pendidikan), masyarakat Indonesia menginginkan perubahan dalam semua aspek kehidupan bangsa.  Pembaharuan pada sektor pendidikan yang memiliki peran strategis dan fungsional (Hujair AH.Sanaky,2003:3 dalam Sudarmiani,2009:13), juga memerlukan paradigma baru yang harus menekankan pada perubahan cara berpikir dalam pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan. Pendidikan yang telah berjalan selama ini tidak bisa menjadi penggerak pembangunan di Indonesia, malahan pendidikan telah menghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, buktinya adalah dengan adanya kesenjangan sosial, budaya, dan ekonomi.
Berbagai masalah yang timbul tersebut diakibatkan oleh semakin lemahnya pendidikan nasional. Pembaharuan pendidikan nasional yang telah mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma dan peran pendidikan dalam pembangunan (zamroni,2000:5-6 dalam Sudarmiani,2009:13). Paradigma tersebut harus berimplikasi pada perubahan perspektif dalam pembangunan pendidikan, mulai dari perspektif yang menganggap pendidikan sebagai sektor pelayanan umum ke perspektif pendidikan sebagai suatu investasi produk yang mampu mendorong pertumbuhan masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Pendidikan sebagai faktor yang dipengaruhi oleh berbagai permasalahan yang terjadi dalam berbagai kehidupan.
Melalui paradigma baru tersebut, dimaksudkan pendidikan harus mampu melawan berbagai tantangan dan permasalahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan. Pendidikan dan kehidupan telah menyatu, maka pendidikan dapat dikatakan sebagai proses memanusiakan manusia.  Berikut ini adalah langkah-langkah untuk melakukan rekonstruksi pendidikan dalam rangka membangun paradigma baru sistem pendidikan nasional:
1)   Pendidikan nasional hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada demokratisasi bangsa.
2)   Pendidikan nasional hendaknya memiliki misi agar tercipta partisipasi masyarakat secara menyeluruh. Pendidikan tidak hanya terfokus dalam penyiapan tenaga kerja, tapi untuk memperkuat kemampuan dasar pembelajar sehingga memungkinkan baginya untuk berkembang lebih jauh dalam konteks kehidupan global.
3)   Substansi pendidikan dasar hendaknya mengacu pada perkembangan potensi dan kreativitas pembelajar. Pendidikan mengengah dan tinggi hendaknya diarahkan pada membuka kemungkinan pengembangan kepribadian secara vertikal (keilmuan) dan horisontal (keterkaitan antar bidang keilmuan).
4)   Pendidikan dasar dan menengah perlu mengembangkan sistem pembelajaran yang egaliter dan demokratis agar tidak terjadi pengelompokan kelas atas dasar kemampuan akademik.
5)   Pendidikan tinggi harus mempersiapkan dan memperkuat kemampuan dasar mahasiswa untuk memungkinkan mereka berkembang baik secara individu, anggota masyarakat, maupun sebagai warga negara dalam konteks global.
6)   Kebijakan kurikulum untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, harus memperhatikan tahap perkembangan pembelajar dan kesesuaian dengan lingkungan, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, seni serta sesuai dengan jenjang masing-masing  satuan pendidikan dengan mengembangkan proses pembelajaran kreatif.
7)   Perlu mengaktualisasikan enam unsur kapasitas belajar, yaitu: Kepercayaan (confidence), Keingintahuan (curioucity), Sadar tujuan (intensionality), Kendali diri (self control), Mampu bekerja sama (work together), Kemampuan bergaul secara harmonis dan saling pengertian (relatedness).
8)   Untuk menjaga relevansi outcome pendidikan, dengan mengimplementasikan filsafat rekonstruksivisme dalam berbagai tingkat kebijakan dan praktisi pendidikan.
9)   Pendidikan nasional hendaknya mendapatkan proporsi alokasi dana yang cukup memadai.
10)    Realisasi pendidikan dalam konteks lokal diperlukan badan-badan pembantu dalam dunia pendidikan. Misalnya saja ‘Dewan Sekolah’ yang memiliki peran untuk memberi masukan-masukan dalam berbagai aspek.
11)    Menetapkan model rekruitmen pejabat pendidikan secara profesional. Kompetensi dan sertifikasi guru dan dosen juga harus dilakukan dengan profesional. Pemerintah harus membentuk badan ‘independen’ profesi guru dan dosen yang anggotanya terdiri dari tenaga kependidikan profesional, terpercaya, dan bertanggung  jawab yang akan menilai kompetensi profesional, keilmuan, personal dan sosial dari guru dan dosen.

2.    Perlunya Manajemen Pendidikan
Dalam paradigma baru manajemen pendidikan ini, Depdiknas telah memetakan fungsi-fungsi pendidikan yang didesentralisasikan ke sekolah (pemberian wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya sendiri)  sebagai Input, Proses, Output. Input: Perencanaan dan evaluasi, kurikulum, pembelajaran, ketenagaan, fasilitas, keuangan, ke pesertadidik, hubungan sekolah-masyarakat, iklim sekolah.  Proses: Proses Belajar Mengajar dan Output: Prestasi Peserta.
Manajemen pendidikan sangat diperlukan karena, manajemen pendidikan ini digunakan untuk melihat kondisi global yang bergulir dan peluang masa depan dan hal ini akan menjadi modal utama untuk mengadakan perubahan paradigma dalam manajemen pendidikan. Modal ini akan dapat menjadi pijakan yang kuat untuk mengembangkan pendidikan. Pada titik inilah diperlukan berbagai komitmen untuk perbaikan kualitas. Ketika melihat peluang, dan peluang itu dijadikan modal, kemudian modal menjadi pijakan untuk mengembangkan pendidikan yang disertai komitmen yang tinggi, maka secara otomatis akan terjadi sebuah efek domino (positif) dalam pengelolaan organisasi, strategi, SDM, pendidikan dan pengajaran,  biaya, serta marketing pendidikan.
Untuk menuju point education change (perubahan pendidikan) secara menyeluruh, maka manajemen pendidikan adalah hal yang harus diprioritaskan untuk kelangsungan pendidikan sehingga menghasilkan out-put yang diinginkan. Walaupun masih terdapat institusi pendidikan yang belum memiliki manajemen yang bagus dalam pengelolaan pendidikannya. Manajemen yang digunakan masih konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan tertinggal dari modernitas.
Jika manajemen pendidikan sudah tertata dengan baik dan membumi, niscaya tidak akan lagi terdengar tentang pelayanan sekolah yang buruk, minimnya profesionalisme tenaga pengajar, sarana-prasarana tidak memadai, pungutan liar, hingga kekerasan dalam pendidikan. Manajemen dalam sebuah organisasi pada dasarnya dimaksudkan sebagai suatu proses (aktivitas) penentuan dan pencapaian tujuan organisasi melalui pelaksanaan empat fungsi dasar: planning, organizing, actuating, dan controlling dalam penggunaan sumberdaya organisasi. Karena itulah, aplikasi manajemen organisasi hakikatnya adalah juga amal perbuatan SDM organisasi yang bersangkutan.
Dalam ranah aktivitas, implementasi manajemen terhadap pengelolaan pendidikan haruslah berorientasi pada efektivitas (ketepatgunaan) terhadap segala aspek pendidikan baik dalam pertumbuhan, perkembangan, maupun keberkahan (dalam perspektif syariah). Berikut ini merupakan urgensi manajemen terhadap bidang manajemen pendidikan:
a.    Manajemen Kurikulum
1)   Mengupayakan efektifitas perencanaan
2)   Mengupayakan efektifitas pengorganisasian dan koordinasi
3)   Mengupayakan efektifitas pelaksanaan
4)   Mengupayakan efektifitas pengendalian/pengawasan

b.    Manajemen Personalia
Manajemen ini berkisar pada staff development (teacher development), meliputi (Pengembangan Staff dan Guru):
1)   Training (Pelatihan)
2)   Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
3)   Inservice Education (Intern Pendidikan/Pendidikan Lanjutan)

c.    Manajemen Siswa
1)      Penerimaan Siswa (Daya Tampung, Seleksi)
2)      Pembinaan Siswa (Pengelompokkan, Kenaikan Kelas, Penentuan Program, Ekskul)
3)      Pemberdayaan OSIS

d.   Manajemen Keuangan
Dalam keuangan pengelolaan pendidikan, manajemen harus berlandaskan pada prinsip: efektivitas(ketepatgunaan), efisiensi (penghematan) dan pemerataan
Dalam kaitannya dengan uang dan pendidikan, pegawai administrasi sekolah memiliki tugas dan harus bertanggung jawab dalam hal-hal sebagai berikut :
1)   Hubungan dengan masyarakat
2)   Penyusunan dan pengembangan rencana anggaran pengeluaran belanja sekolah (RAPBS)
3)   Penataran
4)   Pengaturan pemasokan
5)   Perencanaan dan peningkatan fasilitas sekolah
6)   Pelaksanaan apa yang telah direncanakan
7)   Evaluasi dan pertanggung jawaban keuangan sekolah/laporan keuangan

e.    Manajemen Lingkungan
Urgensi manajemen terhadap lingkungan pendidikan bertujuan dalam merangkul seluruh pihak terkait yang akan berpengaruh dalam segala kebijakan dan keberlangsungan pendidikan, dan memberdayakan masyarakat sekitar sekolah. Maksud hubungan sekolah dan masyarakat adalah:
1)   Untuk mengembangkan pemahaman tentang maksud dan saran-saran dari sekolah,
2)   Untuk menilai program sekolah
3)   Untuk mempersarukan orang tua murid dan guru dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak didik.
4)   Untuk mengembangkan kesadaran  tentang pentingnya pendidikan sekolah.
5)   Untuk membangun dan memelihara kepercayaan masyarakat.
6)   Untuk memberitahu masyarakat tentang pekerjaan sekolah.
7)   Untuk mengerahkan dukungan dan bantuan bagi pemeliharaan dan peningkatan program sekolah.

3.    Prinsip Manajemen Pendidikan
Untuk menjamin keberhasilan sebuah usaha maka manajemen haruslah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip manajemen. Prinsip-prinsip manajemen adalah dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti dari keberhasilan sebuah manajemen.
Menurut Henry Fayol. Prinsip-prinsip dalam manajemen sebaiknya bersifat lentur dalam arti bahwa perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi khusus dan situasi yang berubah-rubah. Prinsip - prinsip umum manajemen menurut Henry Fayol terdiri dari:
a.    Pembagian kerja (Division of work)
Dalam pembagian kerja perlu diperhatikan penempatan orang-orang yang sesuai dengan keahlian, pengalaman, kondisi fisik dan mental. Tujuan pembagian kerja adalah agar diperoleh hasil kerja yang terbaik. Pembagian kerja dapat membantu pemusatan tujuan dan merupakan alat terbaik untuk memanfaatkan individu-individu dan kelompok sesuai dengan bidang keahliannya. Oleh karena itu, dalam penempatan personil dalam organisasi atau karyawan dalam lembaga/perusahaan harus menggunakan prinsip the right man in the right place. Pembagian kerja harus rasional/objektif, bukan emosional subyektif yang didasarkan atas dasar like and dislike (senang dan tidak senang).
Dengan adanya prinsip orang yang tepat ditempat yang tepat (the right man in the right place) akan memberikan jaminan terhadap kestabilan, kelancaran dan efesiensi kerja. Pembagian kerja yang baik merupakan kunci bagi penyelengaraan kerja. kecerobohan dalam pembagian kerja akan berpengaruh kurang baik dan mungkin menimbulkan kegagalan dalam penyelenggaraan pekerjaan, oleh karena itu, seorang manajer yang berpengalaman akan menempatkan pembagian kerja sebagai prinsip utama yang akan menjadi titik tolak bagi prinsip-prinsip lainnya.

b.    Pemberian Wewenang dan Tanggung Jawab (Authority and responsibility)
Setiap personil atau karyawan yang ditempatkan pada posisi prembagian tugasnya, harus dilengkapi dengan wewenang untuk melakukan pekerjaan dan setiap wewenang melekat atau diikuti pertanggungjawaban. Wewenang dan tanggung jawab harus seimbang. Setiap pekerjaan harus dapat memberikan pertanggungjawaban yang sesuai dengan wewenang. Oleh karena itu, makin kecil wewenang makin kecil pula pertanggungjawaban demikian pula sebaliknya.
Tanggung jawab terbesar terletak pada manajer puncak. Kegagalan suatu usaha bukan terletak pada karyawan, tetapi terletak pada puncak pimpinannya karena yang mempunyai wewemang terbesar adalah manajer puncak. oleh karena itu, apabila manajer puncak tidak mempunyai keahlian dan kepemimpinan, maka wewenang yang ada padanya merupakan bumerang.
Setiap orang yang telah diserahi tugas dalam bidang pekerjaan tertentu dengan sendirinya memiliki wewenang untuk membantu memperlancar tugas-tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Wewenang tersebut harus disertai tanggungjawab terhadap atasan atau terhadap tujuan yang hendak dicapai. Antara wewenang dan tangungjawab harus seimbang. Wewenang adalah hak memberikan perintah dan kekuasaan meminta kepatuhan dari yang diperitah. Sedangkan Tangungjawab adalah tugas dan fungsi-fungsi atau kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang petugas.

c.    Memiliki Disiplin (Discipline)
Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawab. Disiplin ini berhubungan erat dengan wewenang. Apabila wewenang tidak berjalan dengan semestinya, maka disiplin akan hilang. Oleh karena ini, pemegang wewenang harus dapat menanamkan disiplin terhadap dirinya sendiri sehingga mempunyai tanggung jawab terhadap pekerajaan sesuai dengan wewenang yang dipegangnya. Tertib atau disiplin akan meningkatkan kualitas kerja, dan peningkatan kualitas kerja akan pula menaikkan mutu hasil kerja.
Dalam setiap organisasi, lembaga atau perusahaan akan berhasil seperti yang diinginkan, maka haruslah menciptakaan aturan atau tata tertib yang mapan, dan tata tertib tersebut haruslah dilakukan dengan penuh disiplin oleh seluruh komponen yang ada dalam organisasi, lembaga atau perusahaan tersebut.

d.   Adanya Kesatuan Komando atau perintah (Unity of command)
Dalam organisasi atau perusahaan, seorang pemimpin atau manajer harus memperikan perintah kepada bawahannya, harus jelas komando atau perintahnya. Jika dalam organisasi atau perusahaan mempunyai jenjang struktur, perintah dari pimpinan yang paling atas ke pimpinan di bawahnya harus satu bahasa dan satu kesatuan perintah. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi overlap atau tumpang tindih pemahaman yang diterima oleh bawahannya.
Begitu juga dalam melakasanakan pekerjaan dari atasannya , personil atau karyawan harus memperhatikan prinsip kesatuan perintah sehingga pelaksanaan kerja dapat dijalankan dengan baik. Karyawan harus tahu kepada siapa ia harus bertanggung jawab sesui dengan wewenang yang diperolehnya. Perintah yang datang dari manajer lain kepada seorang karyawan akan merusak jalannya wewenang dan tanggung jawab serta pembagian kerja. Untuk setiap tindakan dan bagi setiap petugas harus menerima perintah hanya dari seorang atasan saja. Jika perintah datang hanya dari satu sumber maka setiap orang juga akan tahu kepada siapa ia harus bertanggungjawab sesuai wewenang yang telah diberikan kepadanya.

e.    Adanya Kesatuan Arahan (Unity of direction)
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, personil atau karyawan perlu diarahkan menuju tujuan yang menjadi sasarannya. Seorang pemimpin atau manajer harus dapat memberi pengarahan yang jelas terhadap anak buahnya. Kejelasan komunikasi dalam menyampaikan pesan-pesan juga harus jelas struktur kalimat yang digunakan, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Begitu juga dalam memberikan arahan antara pimpinan satu dengan pimpinan yang lain harus ada kesatuan bahasa atau kesatuan arah yang jelas. Kesatuan pengarahan bertalian erat dengan pembagian kerja. Kesatuan pengarahan tergantung pula terhadap kesatuan perintah. Dalam pelaksanaan kerja bisa saja terjadi adanya dua perintah sehingga menimbulkan arah yang berlawanan.
Oleh karena itu, perlu alur yang jelas dari mana karyawan mendapat wewenang untuk melaksanakan pekerjaan dan kepada siapa ia harus mengetahui batas wewenang dan tanggung jawabnya agar tidak terjadi kesalahan. Pelaksanaan kesatuan pengarahan (unity of directiion) tidak dapat terlepas dari pembagian kerja, wewenang dan tanggung jawab, disiplin, serta kesatuan perintah.

f.     Mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan sendiri
Setiap komponen organisasi, lembaga atau perusahaan baik pimpinan atau personil/karyawan harus mengabdikan kepentingan pribadi demi kepentingan organisasi atau perusahaan. Hal semacam itu merupakan suatu syarat yang sangat penting agar setiap kegiatan berjalan dengan lancar sehingga tujuan yang direncanaakan dapat tercapai dengan baik.
Jika Setiap unsur organisasi atau perusahaan , baik pimpinan atau karyawan dapat mengabdikan kepentingan pribadinya untuk kepentingan organisasi, maka kesuksesan membangun organisasi atau perusahaan dapat diwujudkan dengan mudah. Adanya kesadaran bahwa kepentingan pribadi sebenarnya tergantung kepada berhasil-tidaknya kepentingan organisasi, itulah sebenarnya wujud prinsip yang harus dibangun. Prinsip pengabdian kepentingan pribadi kepada kepentingan organisasi dapat terwujud, apabila setiap pimpinan dan karyawan merasa senang dalam bekerja sehingga memiliki disiplin yang tinggi.

g.    Adanya Pemberian Kesejahteraan atau gaji pegawai
Imbalan kerja, upah, gaji atau apapun namanya, bagi setiap personil organisasi, lembaga atau perusahaan, merupakan kompensasi yang menentukan terwujudnya kelancaran dalam bekerja. Karyawan atau staf yang memliki perasaan cemas, tertekan dan kekurangan dalam kebutuhan hidup sehari-harinya akan sulit berkonsentrasi terhadap tugas dan kewajibannya sehingga dapat mengakibatkan ketidaksempurnaan dalam bekerja. Oleh karena itu, dalam prinsip pemberian kesejahteraan, imbalah atau penggajian harus dipikirkan bagaimana agar karyawan dapat bekerja dengan rasa senang, tenang dan nyaman.
Sistem penggajian harus diperhitungkan agar menimbulkan kedisiplinan dan kegairahan kerja sehingga karyawan berkompetisi untuk membuat prestasi yang lebih besar. Prinsip more pay for more prestige (upaya lebih untuk prestasi lebih), dan prinsip upah sama untuk prestasi yang sama perlu diterapkan sebab apabila ada perbedaan akan menimbulkan kelesuan dalam bekerja dan mungkin akan menimbulkan tindakan tidak disiplin. Prinsip keadilan dan pemberian sesuai job, harus juga dikomunkasikan terlebih dahulu, sehingga tidak menimbulkan kecermburuan social dalam organisasi atau perusahaan tersebut.

h.     Adanya Pemusatan Wewenang (Centralization)
Pemusatan wewenang akan menimbulkan pemusatan tanggung jawab dalam suatu kegiatan. Tanggung jawab terakhir terletak ada orang yang memegang wewenang tertinggi atau manajer puncak. Pemusatan bukan berarti adanya kekuasaan untuk menggunakan wewenang, melainkan untuk menghindari kesimpangsiuran wewenang dan tanggung jawab. Pemusatan wewenang ini juga tidak menghilangkan asas pelimpahan wewenang (delegation of authority)

i.      Adanya Hirarki (tingkatan)
Pembagian kerja menimbulkan adanya atasan dan bawahan. Bila pembagian kerja ini mencakup area yang cukup luas akan menimbulkan hirarki. Hirarki diukur dari wewenang terbesar yang berada pada manajer puncak dan seterusnya berurutan ke bawah. dengan adanya hirarki ini, maka setiap karyawan akan mengetahui kepada siapa ia harus bertanggung jawab dan dari siapa ia mendapat perintah.

j.      Adanya Keadilan dan kejujuran
Keadilan dan kejujuran merupakan salah satu syarat untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Keadilan dan kejujuran terkait dengan moral karyawan dan tidak dapat dipisahkan. Keadilan dan kejujuran harus ditegakkan mulai dari pimpinan (atasan) karena pimpinan memiliki wewenang yang paling besar. Manajer yang adil dan jujur akan menggunakan wewenangnya dengan sebaik-baiknya untuk melakukan keadilan dan kejujuran pada bawahannya.
Keadilan dituntut misalnya dalam penempatan tenaga kerja yang harus benar-benar dipertimbangkan berdasarkan pendidikan, pengalaman dan keahlian seseorang. Kecuali itu keadilan juga dituntut dalam pembagian upah, sesuai berat ringannya pekerjaan dan tanggungjawab seseorang.
Kejujuran dituntut agar masing-masing orang bekerja untuk kepentingan bersama bukan mendahulukan kepentingan pribadi.

k.    Adanya Stabilitas kondisi karyawan
Dalam setiap kegiatan kestabilan karyawan harus dijaga sebaik-baiknya agar segala pekerjaan berjalan dengan lancar. Kestabilan karyawan terwujud karena adanya disiplin kerja yang baik dan adanya ketertiban dalam kegiatan.
Manusia sebagai makhluk sosial yang berbudaya memiliki keinginan, perasaan dan pikiran. Apabila keinginannya tidak terpenuhi, perasaan tertekan dan pikiran yang kacau akan menimbulkan goncangan dalam bekerja.

l.      Adanya Prakarsa (Inisiative)
Prakarsa timbul dari dalam diri seseorang yang menggunakan daya pikir. Prakarsa menimbulkan kehendak untuk mewujudkan suatu yang berguna bagi penyelesaian pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Jadi dalam prakarsa terhimpun kehendak, perasaan, pikiran, keahlian dan pengalaman seseorang.
Oleh karena itu, setiap prakarsa yang datang dari karyawan harus dihargai. Prakarsa (inisiatif) mengandung arti menghargai orang lain, karena itu hakikatnya manusia butuh penghargaan. Setiap penolakan terhadap prakarsa karyawan merupakan salah satu langkah untuk menolak gairah kerja. Oleh karena itu, seorang manajer yang bijak akan menerima dengan senang hari prakarsa-prakarsa yang dilahirkan karyawannya.

m.  Semangat kesatuan dan semangat korps
Setiap karyawan harus memiliki rasa kesatuan, yaitu rasa senasib sepenanggungan sehingga menimbulkan semangat kerja sama yang baik. semangat kesatuan akan lahir apabila setiap karyawan mempunyai kesadaran bahwa setiap karyawan berarti bagi karyawan lain dan karyawan lain sangat dibutuhkan oleh dirinya. Manajer yang memiliki kepemimpinan akan mampu melahirkan semangat kesatuan (esprit de corp), sedangkan manajer yang suka memaksa dengan cara-cara yang kasar akan melahirkan friction de corp (perpecahan dalam korp) dan membawa bencana.

4.    Unsur-unsur Utama dalam Manajemen Pendidikan
Dalam manajemen terdapat unsur-unsur atau komponen-komponen yang membuatnya menjadi suatu proses yang berifat mengatur dan mengontrol, unsur tersebur seperti: Perencanaan, pengorganisasian,pengendalian dan pengawasan tidak hanya itu Manusia juga merupakan unsur yang utama dalam manajemen pendidikan, karena seluruh tahapan tahapan fungsi manajemen pasti melibatkan manusia sebagai pelakunya.
Dalam fungsi perencanaan hanya manusia yang dapat melakukanya begitu pula dalam pengorganisasian, dalam pencapaian tujuan organisasi pendidikan pun juga demikian, manusia sebagai pelakunya karena dalam tahapan ini tentunya manusia sebagai unsur dari manajemen sebuah Organisasi pendidikan akan berusaha mencari cara-cara ataupun metode yang tepat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan organisasinya dengan sebaik-baiknya dan dengan cara yang efektif dan efisien.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua unsur-unsur dan fungsi manajemen tidak akan bisa berjalan tanpa adanya manusia sebagai pelaku dan unsur utama dalam sebuah manajemen pendidikan.

5.    Implikasi Manajemen Pendidikan dalam Peningkatan Mutu Pendidikan
Dalam peningkatan mutu pendidikan terdapat 3 faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yaitu:
a.    Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input – input analisis yang tidak konsisten.
b.    Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik.
c.    Peran serta mayarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim.
Berdasarkan penyebab tersebut dan dengan adanya era otonomi daerah yang sedang berjalan maka kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk mengembangkan SDM adalah :
a.    Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MBS) dimana sekolah diberikan kewenangan untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan.
b.    Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education)
c.    Dengan menggunakan paradigma belajar yang akan menjadikan pelajar-pelajar menjadi manusia yang diberdayakan.
Komponen yang terkait dengan mutu pendidikan tersebut adalah:
1)   Siswa:
a)    Kesiapan dan motivasi belajar siswa
b)   Sarasan belajar siswa
2)   Guru:
a.    Kemampuan professional.
b.    Moral kerjanya (kemampuan personal).
c.    Kerjasamanya (kemampuan social)
3)   Kurikulum : Relevansi konten dan operasionalisasi proses pembelajarannya.
4)   Sarana dan prasarana : Kecukupan dan keefektifan dalam mendukung proses pembelajaran.
5)   Masyarakat : Partisipasinya dalam mengembangkan program-program pendidikan.

Berdasarkan praktik penyelenggaraan pendidikan di Indonesia selama ini, dan langkah-langkah yang telah dirintis (baik oleh pemerintah maupun masyarakat) serta kebijakan ke depan, konsep mutu baik dalam pengertian absolute, relative (standar), maupun kepuasan pelanggan/konsumen, ketiganya dianut secara sinergis, bersamaan dan saling melengkapi.
Di Indonesia dikenal adanya sekolah – sekolah unggulan (sebagai nama “generic”, bukan nama dari suatu sekolah) baik yang diprakarsai oleh pemerintah termasuk pemerintah provinsi/kabupaten kota) maupun tumbuh atas prakarsa masyarakat termasuk dunia usaha. Masyarakat di Jakarta dan sekitarnya sebagai contoh mengenal adanya sekolah – sekolah seperti  SMU 8 (sekolah negeri), sekolah-sekolah al-azhar (TK-SMU), sekolah-sekolah dibawah nama “Global Jaya”, Sekolah dibawah nama “Pelita Harapan”, “Pangudi Luhur”, “Regina Pacis”, dan masih banyak yang lainnya. Mereka adalah sekolah-sekolah yang ingin tampil beda, dengan kekhasan yang tidak dimiliki oleh sekolah lain.
Meskipun tidak ada yang terus terang mengklaim dirinya yang terbaik (karena alasan etika), visi mereka adalah visi mutu dalam pengertian yang pertama. Apakah dalam kenyataan terbukti atau tidak bahwa mereka adalah yang terbaik, yang paling tahu adalah konsumen dan pengelola sekolah yang bersangkutan. Sebenarnya masing-masing sekolah itu memiliki keunggulan tertentu (dengan pangsa pasar tertentu), dan tidak sembarang calon siswa dapat diterima disana dan secara relative bersifat elitis. Menyelenggarakan pendidikan yang ‘elitis’ tentu tidak salah asal persyaratannya jelas dan terbuka, tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional dan ketentuan perundangan yang berlaku dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Dari segi kepuasan pelanggan pendidikan jenis ini justru sangat reponseif terhadap kebutuhan konsumen karena kalau tidak, mereka tidak akan diminati.
Mutu dalam pengertian relative diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia, antara lain terbukti dengan adanya kurikulum nasional yang memberikan perincian tujuan yang ingin dicapai, rumusan standar kompetensi yang diinginkan, standar isi, dan system penilaian yang di standar yang diantaranya berupa ujian nasional. Ujian nasional sebagai alat pengukur pencapaian standar kompetensi, juga menjadi standar yang dapat dinaikan atau diturunkan derajat kualitasnya sesuai kesepakatan. Kalau hasil ujian nasional secara keseluruhan memuaskan, standarnya secara berangsur-angsur dinaikan dan hal ini dikaitkan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan untuk mencapai standar mutu yang lebih tinggi.
Di samping standar nasional, terdapat standar local maupun sekolah. Di luar standar yang sifatnya substantif, pemerintah juga melakukan pengecekan standar yang berkaitan dengan kinerja satuan pendidikan dan kelayakan pengelolaan satuan pendidikan melalui system akreditasi. Wawasan mutu pendidikan berdasarkan kepuasan konsumen sudah lama disadari, terutama kalangan penyelenggara pendidikan swasta yang tergolong ke atas. Dalam kurun waktu pemerintahan yang sentralisasinya masih kuat pun mereka sudah berjuang keras untuk menarik minat masyarakat agar tetap eksis, melalui persaingan yang ketat.
Bagi mereka, mengikuti aturan pemerintah, pengarahan, bimbingan, panduan, dan petunjuk hanyalah kewajiban formal, yang lebih penting menentukan hidup matinya lembaga pendidikan yang dikelola adalah minat masyarakat untuk memasukan putra-putrinya ke lembaga pendidikan yang mereka tawarkan. Berdasarkan pengalaman, lembaga-lembaga pendidikan swasta yang kurang responsive terhadap aspirasi masyarakat  banyak yang terpaksa tutup karena kekurangan murid atau sebagaian di antaranya “hidup tak hendak mati tak mau”. Sementara itu, lembaga-lembga pendidikan milik pemerintah yang dulunya merasa diperlukan oleh masyarakat  dan keberadaaannya tidak tergantung masyarakat, sekarang dipakssa oleh keadaaan harus memperhatikan keinginan masyarakat dengan dibentuknya Komite Sekolah, antara lain menyalurkan aspirasi masyarakat pengguna jasa pendidikan.
 Hal ini lebih diperkuat lagi dengan penerapan manajemen berbasis sekolah seperti ditetapkan oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, khususnya pasal 51, ayat (1). Dalam penjelasan pasal ini, yang dimaksud manajemen berbasis sekolah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan. Dalam hal ini, kepala sekolah dan guru dibantu oleh komite sekolah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Dari penjelasan pasal 51, ayat (1) tersebut, wawasan mutu dari segi kepauasan konsumen sudah built-in (terpadu) dalam penerapan manajemen berbasis sekolah dan sekolah-sekolah negeri yang benar tidak mungkin mengelak.
Tambahan lagi, disuatu  wilayah yang Jumlah sekolahnya mencukupi untuk menampung semua siswa usia sekolah dan masyarakatnya terdidik (peduli pendidikan), mau tidak mau, masyarakat akan memilih sekolah yang oleh mereka dianggap favorit  (karena memiliki kelebihan) tidak peduli sekolah negeri atau swasta. Dalam situasai seperti ini sekolah-sekolah negeri yang tadinya ‘adem ayem’ terpaksa harus berkompetisi satu sama lain, kalau tidak ingin dipermalukan oleh masyarakat. Hal ini, antara ain yang  menyebabkan program perintisan MBS didahulukan pada sebagian sekolah-sekolah negeri.
Jelasnya, wawasan mutu pendidikan yang bersifat menyeluruh baik dari segi ranah kompetensi yang harus dicapai maupun ketiga konsep mutu, secara terpadu semuanya dipakai dan saling mengisi. Hanya di dalam kenyataan/praktik, suatu lembaga sesuai dengan kondisinya lebih memfokuskan pada wawasan mutu tertentu. Wawasan tentang mutu yang dianut oleh suatu lembaga pendidikan, pada gilirannya akan sangat berpengaruh terhadap praktik manajemen pada satuan pendidikan yang bersangkutan. Akhirnya dalam implikasi konsep mutu dalam pendidikan ini perlu diperhatikan beberapa catatan sebagai berikut:
a.    Setiap penyelenggaran dan pengelola pendidikan perlu memahami betul visi atau wawasan tentang mutu pendidikan sehingga dengan jelas dapat mengarahkan ke masa satuan pendidikan yang dikelola akan diarahkan. Bagaimana satuan pendidikan dengan kesadaran memposisikan dirinyaa di dalam upaya peningkatan mutu jauh lebih penting daripada berbagai arahan yang dipaksakan dari luar atau dari atas  dan untuk itulah MBS dikembangkan.

b.    Konsep mutu dalam pengertian standar yang benar-benar teliti sulit diterapkan dalam dunia pendidikan, apalagi konsep ini semula diterapkan di dunia bisnis terutama berkaitan dengan dunia produksi barang. Konsep standar yang berarti penerapan system kualitas harus dapat menjaga konsistensi mutu produk, agaknya secara metodologi sulit untuk diterapkan di dunia pendidikan. Ada kesulitan menstandarkan input-proses-dan output pendidikan meskipun ada yang berupaya kearah itu, misal menyeleksi calon siswa, guru-guru, kurikulum standar, serta ujian/tes yang standar. Misalnya , menstandarkan persyaratan siswa yang masuk melalui seleksi tertentu dapat dilakukan, masih ada problem tentang sidak dan motivasi tiap anak yang berbeda, apalagi dari segi kepribadian dan potensi lainnya, setiap memiliki keunikan.

Dari segi proses tak ada guru yang secara konsisten mengupayakan pengalaman belajar yang sama , dan seandainya ada hal ini justru sesuai perkembangan dan kepribadiannya. Dari sisi produk, bagaimanapun upaya system manajemen mutu yang dilakukan sulit untuk menjamin konsistensi kualitas hasil yang terukur/cermat, berbeda dengan produk yang berupa barang yang konsistensinya lebih dapat dijamin dari desain, bahan, mesin pemroses, dan hasilnya. Berkaitan dengan produk ini, ada yang beranggapan bahwa siswa merupakan produk pendidikan. Akan tetapi  dari sisi pandangan bahwa pendidikan sebagai lembaga yang menyediakan jasa , siswa adalah konsumen/klien ‘primer’, yang langsung menggunakan/menikmati jasa pendidikan. Dengan demikian layanan dan proses pendidikan yang diterima atau dialami oleh siswa dapat dipandang sebagai produk pendidikan. Dalam hal ini, apa pun pandangan yang dianut untuk menjaga konsistensi standar keduanya bukanlah sesuatu yang mudah.
Lalu bagaimana penjaminan mutu dengan standar-standar yang digunakan dapat dilakukan di dunia pendidikan (lembaga pendidikan) ? Langkah praktis sementara yang ditempuh adalah mengalihkan focus bukan pada proses belajarnya, tetapi lebih pada perolehan hak layanan (level of entitlement) yang diharapkan oleh siswa dari institusi yang bersangkutan. Kalau tingkat memperoleh hak layanan yang disediakan oleh suatu sekolah didefinisikan dengan baik dan terus menerus dijaga konsistensinya maka hal ini akan mempunyai dampak pada proses pembelajaran yang efektif, tanpa harus mengamati konsistensi proses belajar – mengajar yang merupakan suatu seni dan profesionalisme guru.
 Hak memperoleh layanan dimaksud, misalnyaa layanan remedial, program pengayaan, informasi atas nilai, berkonsultasi dengan guru, penggunaan perpustakaan, dan fasilitas lain serta laboratorium, komputer, sarana olahraga, dan lainlain yang dijanjikan dan disediakanoleh sekolah secara jelas dan dijaga konsistensinya oleh manajemen sekolah.

c.    Siapa konsumen atau pelanggan pendidikan ? Konsumen mana yang dianggap dapat memberikan penilaian (judgement) atas mutu pendidikan ?
Menurut Sallis, (1993) ada konsumen eksternal dan konsumen internal. Siswa merupakan konsumen primer karena merekalah yang memperoleh layanan langsung dari institusi pendidikan. Orang tua dan pemerintah sebagai konsumen sekunder karena mereka yang membiayai individu atau institusi pendidikan yang bersangkutan sehingga sangat penting dan menentukan. Pengguna lulusan (dunia kerja), pemerintah, dan masyarakat luas sebagai konsumen tersier karena sungguhpun tidak langsung berhubungan dengan lembaga pendidikan, tetapi pengaruhnya sangat penting. Konsumen primer, sekunder, dan tersier dimaksud merupakan konsumen eksternal seiring juga disebut (eksternal stakeholders). Di samping konsumen eksternal, terdapat konsumen internal yaitu para guru/staf pengajar dan staf sekolah pada umumnya. Peran mereka  dalam mengupayakan layanan pendidikan yang bermutu sangat penting di dalam pengelolaan mutu pendidikan. Oleh karena itu, feedback  dan kerja sama antara mereka sangat penting di dalam pengelolaan mutu pendidikan. Di dalam praktiknya sekarang suara masyarakat sebagai salah satu stakeholders sering di ambil alih oleh DPR/DPRD karena mereka merasa secara resmi dianggap sebagai wakil rakyat. Dalam konteks Indonesia saat ini, ada institusi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang perannya lebih focus pada akuntabilitas pelaksanaan pendidikan. 


BAB III 
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Manajemen pendidikan ialah proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin, mengendalikan tenaga pendidikan, sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman & bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri, serta bertanggung jawab kemasyarakat dan bangsa.
Tujuan dan manfaat dari manajemen pendidikan diantaranya yaitu:
a.    Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan dan bermakna (Pakemb)
b.    Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efesien
c.    Teratasinya masalah mutu pendidikan.
d.   Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas administrasi pendidikan
Fungsi dan peranan dari manajemen pendidikan diantaranya yaitu:
1.    Fungsi manajemen yang terdapat dalam pendidikan meliputi fungsi perencanaan atau planning, fungsi pengorganisasian atau organizing, fungsi pengarahan atau directing, dan fungsi pengendalian atau controlling.
2.    Peran manajemen dalam pendidikan yaitu: Manajemen Pendidikan berperan sebagai:
a.    Penanggung jawab dan pengendali
b.    Pelaksana efektifitas POAC operasional perusahaan/ sekolah sehari-hari
c.    Melakukan SWOT analisis
d.   Pengelola SDM dan sumber daya perusahaan/ sekolah
e.    Menjalin akses dengan stakeholders
f.     Pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
g.    Pengembangan perusahaan/ sekolah
h.    Menyusun strategi kelangsungan hidup

Manajemen pendidikan sangat diperlukan karena, pada intinya manajemen pendidikan ini digunakan untuk melihat kondisi global yang bergulir dan peluang masa depan dan hal ini akan menjadi modal utama untuk mengadakan perubahan paradigma dalam manajemen pendidikan





























Tidak ada komentar:

Posting Komentar